Menciptakan Pengembangan Energi Panas Bumi yang Aman dan Berkeadilan Tanpa Kekerasan Berbasis Gender

Des 15, 2025

Pada suatu hari di lereng dataran tinggi di Indonesia, terlihat puluhan warga dari beberapa desa berkumpul di satu balai desa untuk mengikuti pertemuan reguler dengan perusahaan operator proyek panas bumi. Tampak diantara warga yang berdialog, para ibu dan pekerja perempuan di lokasi proyek tersebut yang terlihat serius mengikuti diskusi yang sedang berlangsung. Dari beberapa dialog yang sudah dilakukan sebelumnya, mereka paham bahwa proyek panas bumi dapat turut mengubah kehidupan mereka. Kegiatan pertemuan ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur tidak bisa mengecualikan peran kelompok manapun. Seluruh kelompok masyarakat harus memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam memperoleh informasi dan mendapat manfaat dari pembangunan yang ada.

Pembangunan infrastruktur dan hadirnya energi bersih melalui panas bumi menghadirkan harapan baru. Namun perubahan tersebut juga dapat membawa sebuah isu yang kini makin sering disorot seiring Indonesia mempercepat transisi energi, yaitu isu kekerasan berbasis gender (KBG). Isu ini terasa jauh dari sumur produksi panas bumi, tapi justru dapat muncul seiring dengan perubahan sosial yang dibawa oleh pembangunan. Pengembangan proyek panas bumi sebagai bentuk energi terbarukan, sejatinya harus mengutamakan kesetaraan gender dan inklusi sosial dengan melibatkan seluruh kelompok masyarakat.

KBG bukan sekedar tindakan kriminal, ia adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berakar pada ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan (CEDAW, 2017). WHO menggambarkan KBG sebagai setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian atau penderitaan fisik, seksual, atau mental terhadap perempuan, termasuk ancaman tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (WHO, 2025). Bentuk KBG mencakup diantaranya kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, ancaman kekerasan, pemaksaan, manipulasi, kekerasan seksual, hingga pembatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan pekerjaan.

Laki-laki juga dapat terdampak KBG, namun perempuan dan anak perempuan lebih berisiko mengalami KBG, terutama mereka yang mengalami disabilitas. Dampaknya pun panjang, korban mengalami konsekuensi fisik, psikologis, hingga sosial; kehilangan pekerjaan pendapatan, dan akses ke sekolah; hingga peminggiran dan penghilangan hak-hak sipil.

Kasus KBG tercatat meningkat cukup tajam di Indonesia. Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kenaikan sebesar 10.681%, dari 3.169 kasus pada tahun 2001 menjadi 338.496 kasus pada tahun 2024. Hampir setengahnya, sekitar 48 persen, adalah kekerasan fisik (Perempuan, 2024).

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU ini menegaskan bahwa negara harus memastikan upaya perlindungan HAM yang inklusif. Namun perjalanan menghapus KBG masih panjang dan membutuhkan upaya dari semua pihak, khususnya di sektor-sektor yang sedang tumbuh seperti sektor panas bumi.

Transisi Energi Tanpa Kekerasan Berbasis Gender

Pada saat yang sama, Indonesia tengah mempercepat transisi energi dari energi berhana bakar fosil ke energi terbarukan untuk mengurangi emisi karbon di seluruh aspek pembangunan. Pemerintah menargetkan pengurangan 358–446 juta ton karbon dioksida pada 2030, salah satunya melalui pengembangan energi terbarukan. Panas bumi menjadi sumber energi yang potensial karena Indonesia memiliki potensi cadangan terbesar kedua di dunia.

Namun transisi energi perlu dibarengi dengan upaya kesetaraan gender di tiap aspek pelaksanaannya. Hal ini karena ketimpangan antara peran perempuan dan laki-laki dalam proses pengembangan panas bumi dan pemanfaatan hasilnya dapat memperbesar risiko KBG.

Industri panas bumi dikenal didominasi pekerja laki-laki. Dalam kondisi ini, perempuan sering berada di posisi minoritas—baik sebagai pekerja maupun anggota masyarakat di sekitar proyek—yang membuat mereka lebih rentan terhadap diskriminasi, pelecehan, pembatasan akses atau bentuk KBG lainnya.

Di banyak daerah, pembangunan infrastruktur, termasuk proyek panas bumi, menghadirkan dinamika bagi perempuan, baik di tingkat masyarakat maupun pekerja yang datang. Keduanya turut menghadapi risiko KBG, seperti kekerasan seksual atau pelecehan, diskriminasi, keterbatasan akses perempuan terhadap informasi dan keputusan proyek, perubahan beban kerja domestik ketika akses energi belum merata dan perempuan memikul tanggung jawab rumah tangga, serta stigma dan tekanan sosial ketika perempuan mencoba terlibat dalam sektor yang dianggap ranah laki-laki. Dalam beberapa kasus, perubahan ekonomi lokal juga dapat memperburuk kerentanan perempuan, terutama jika mereka tidak memiliki akses yang setara terhadap peluang kerja baru.

Mendorong Akses Energi yang Aman dan Adil

Untuk memastikan transisi energi tidak menimbulkan KBG, berbagai inisiatif kini menempatkan kesetaraan gender sebagai salah satu prinsip utama dalam pengembangan energi terbarukan. Upaya mendorong akses dan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki perlu diperkuat dan dijalankan secara masif. Edukasi serta kampanye tentang peran dan akses yang sama antara perempuan dan laki-laki menjadi penting agar transisi energi Indonesia tidak hanya bersih dari emisi, tetapi juga bersih dari kekerasan dan diskriminasi.

Untuk pekerja perempuan di sektor energi, langkah-langkah ini akan membuka ruang baru untuk berkontribusi dan berkembang. Semantara bagi masyarakat sekitar proyek, hal ini menciptakan pembangunan yang lebih memberikan rasa aman dan inklusif.

Program Kerjasama Panas Bumi Indonesia-Aotearoa (PINZ) turut berupaya memperkuat pencegahan KBG di industri panas bumi melalui pengarusutamaan kesetaran gender dan inklusi sosial di seluruh pelaksanaan programnya. PINZ berupaya memberikan akses dan kesempatan bagi perempuan di dalam industri panas bumi untuk dapat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan di perusahaan. PINZ juga turut melaksanakan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran dan menghentikan KBG. Hal ini karena kebijakan pengembangan panas bumi harus mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan yang dapat mengurangi risiko KBG di sektor energi.

Transisi menuju energi bersih adalah bagian dari perjalanan menuju masa depan rendah karbon. Namun keberhasilannya tidak cukup diukur dari jumlah pembangkit yang dibangun atau berapa juta ton emisi yang dikurangi. Ukuran lainnya adalah bagaimana transisi ini dapat mengangkat kualitas hidup semua orang tanpa menimbulkan kerentanan baru.

Pada akhirnya, upaya mecegah KBG dalam pengembangan panas bumi kembali pada para ibu anggota masyarakat dan pekerja perempuan yang duduk di balai desa di lereng dataran tinggi itu. Di tengah perubahan besar yang dibawa lewat pengembangan panas bumi, merekalah wajah dari komunitas yang perlu dilindungi, mereka yang menjaga rumah, menggerakkan ekonomi keluarga, dan berkarya di industri ini. Inilah mengapa transisi energi harus berjalan seiring dengan keadilan sosial. Bila pengembangan panas bumi mampu memastikan ruang yang aman dan setara bagi mereka, maka manfaatnya benar-benar dapat dirasakan hingga ke seluruh lapisan masyarakat.

 

CEDAW. (2017). General Recommendation No.35 on Gender-Based Violence against Women. the Committee on the Elimination of Discrimination against Women.

Kraft, C., Qayum, S., Pröstler, K., & Schuber, C. (2023). Gender Equality and the Sustainable Energy Transition. New York and Vienna: UN Women and UNIDO.

Midadan, M., Rizkiana, A., Saragih, R. A., Wibowo, D. H., & Ahmad, T. (2023). Masa Depan Panas Bumi di Indonesia. Indef Policy Brief.

Orlando, M. B., Janik, V. L., Vaidya, P., Angelou, N., & Zumbyte, I. (2017, March). Getting to Gender Equality in Energy Infrastructure, Lessons from Electricity Generation, Transmission, and Distribution Project. Washington: The International Bank for Reconstruction And Development.

Perempuan, K. (2024). Modul Dukungan Psikologis Awal Berperspektif HAM dan Gender dalam Penanganan Penyintas Kekerasan Berbasis Gender. Jakarta: Komnas Perempuan.

WHO. (2025, December). Retrieved from Violence against women: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-women

 

 

Artikel Terkait